Memahami Kejahatan Pedofilia Melalui Internet
Perkembangan internet yang semakin cepat menjadikan kita harus ekstra berhati-hati terutama perhatian kepada anak-anak. Masih banyak sebagian orang tua yang menganggap bahwa internet dianggap biasa saja dan tidak berpeluang memiliki efek negatif yang besar untuk perkembangan anak. Apalagi saat ini kejahatan pedofilia juga mengancam lewat dunia internet.
Perlu diketahui bahwa bahaya pedofilia di internet sudah sangat mengancam anak-anak muda bangsa Indonesia. Fasilitas sosial media yang menjamur luas menjadikan interaksi dengan orang asing akan lebih mudah terjadi. Kondisi seperti inilah yang harus diwaspadai agar anak-anak kita tidak terancam kejahatan di internet khususnya kejahatan pedofilia.
Saking berbahayanya kejahatan pedofilia melalui internet, maka sedikit kita ulas cara kerja pedofilia melalui media internet yang wajib diketahui oleh para orang tua yang dikutip dari https://twitter.com/VampireMuslimah
Etimologi (asal kata) pedofilia, adalah dari pedo/pais (yunani) yg berarti anak + phile (latin/greek) yg berarti cinta yang kuat.
Dalam konsep perilaku menyimpang, pedofilia dimaknai sebagai kepribadian yang eksplor rasa suka kepada anak hingga ke eksploitasi sek*sual
Di Indonesia, menurut UU (perlindungan anak, ham, dll) yang masih dianggap sebagai "anak-anak" adalah yg belum berusia 18 tahun.
Tipe pedofil online, menurut FBI, umumnya ada 2: yang target ketemu tatap muka dengan korban, dan yang koleksi/barter gambar po*rno-anak.
Modus pedofil online, mencari mangsa di tempat-tempat anak-anak kumpul di Internet. Media social, semacam facebook, target favorit.
Pedofil online akan pilah-pilih targetnya dengan memantau jejak update status. Misalnya yang rendah diri, problem dengan orangtua/teman, dll.
Setelah dapat target, pelaku pedofil posisikan dirinya sebagai orang yang bisa diajak curhat. Profesi, usia, gender si pelaku dipalsukan.
Proses pendekatan yang dilakukan pelaku pedofil online ke target korban, dalam membangun "kepercayaan online", disebut sebagai "grooming".
Proses grooming berjalan perlahan, bisa dalam durasi harian atau mingguan. Hubungan emosional terbentuk, karena konsep hyper-reality.
Hyper reality, intinya adalah kepercayaan pada realitas (semu) yang terbentuk karena sejumlah representasi makna/simbol via Internet.
Contohnya, pelaku pedofil online bisa saja samarkan diri sebagai dokter, guru, atau siapapun yang bisa dipercaya untuk curhat korbannya.
Pada tahap tertentu, proses grooming tadi akan hasilkan emotional connection antara si anak (korban) dengan pelaku pedofil online.
Berdasarkan data dari veteran detektif cyber FBI, 70% anak-anak akan 'accept friend request' tanpa pikir panjang atau cek-ricek dulu.
Setelah hubungan emosional antara si anak (korban) dengan pelaku pedofil terjalin, si pelaku menjadi semacam manipulator ulung.
Si pelaku pedofil online akan mudah minta korbannya untuk kirimkan foto-foto diri (selfie) dengan pose vulgar, atau bahkan ajak ketemuan.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Media Tempo belum lama berselang lakukan investigasi selama 7 jam, surfing ke internet menyamar sebagai 'Lisa', abg usia 14thn.
Hasil penyamaran Tempo selama 7 jam tersebut, berhasil menarik tak kurang dari 75 predator (pelaku pedofil online) yang siap memangsa.
Yg ditawarkan predator online kepada 'Lisa' tersebut semisal se*xchat, video conf po*rno, hingga ajak ketemu meski tahu usianya baru 14thn.
Saat ini kami yg concern dengan pedofil online, sedang hadapi 1 kasus yang nyata-nyata di depan mata. Saya akan share, tapi data-data disamarkan.
Alkisah ada seorang anak perempuan yang piawai gunakan layanan socmed, meski usianya masih dibawah dari yang disyaratkan layanan tersebut.
Si anak ini kemudian berkenalan di internet dengan seorang yang mengaku sebagai dokter perempuan muda, dari sebuah RS terkenal di kota X.
Profil 'si dokter' di situs socmed tersebut cukup meyakinkan. Ada foto diri dengan jas dokter, stetoskop, info riwayat pendidikan, dll.
Jangankan anak-anak, kami yang pertama kali melihat profil 'dokter' tersebut, juga susah membedakan apakah itu profil asli atau abal-abal.
Singkat kata, si dokter abal-abal tadi mulai melakukan proses 'grooming' kepada target korbannya, membangun hubungan emosional dengan sabar.
Dengan memantau profil si target yang tertulis di web socmed tersebut, 'dokter' predator ini kemudian memulainya dengan sok kenal si anu-itu.
Diskusi pun berlanjut, kepercayaan pun terbangun. Sampai kemudian diskusinya mulai tentang kesehatan alat reproduksi perempuan.
Dan berkonsultasilah si anak dengan 'dokter' tersebut. Si anak pun mengirim gambar dirinya, untuk membantu visual dalam rangka 'konsultasi'.
Melalui info jejaring teman di situs yang dipakai anak tersebut, pelaku pedofil online yang mengaku dokter tersebut berhasil jerat korban lain.
Dengan cara yang sama, 'dokter' tersebut berhasil jerat sejumlah anak-anak, baik berasal dari sekolah yang sama ataupun beda, untuk kirim foto vulgar.
Dan foto-foto dari korban tersebut, kemudian diposting sana-sini, salah satunya berulang kali ke sebuah situs komunitas di Indonesia.
Postingan tersebut, selalu dengan informasi tambahan yang tak benar. Misalnya, 'dijual vir*ginitas', 'korban pelecehan sek*sual guru', dll.
Akan sangat mengerikan dampaknya, jika si 'dokter' predator ini niat dan berhasil mengajak anak2 tersebut untuk ketemuan langsung. Dan...!
Pedofilia online, seperti pucuk gunung es. Karena tekanan keluarga, sekolah, sosial, bisa jadi banyak kasus yang tak dilapor/terdeteksi.
Untuk kasus yang sedang berjalan sekarang, dari sejumlah korbannya, hanya 1 pihak saja yang berani dan tegar untuk lapor ke pihak berwenang.
FBI, sudah jauh hari mengingatkan. Bahwa kini solusi meletakkan komputer di ruang tengah/keluarga, tak lagi cukup.
Apalagi gadget yang dipakai anak, kian ringkas dan personal. Perlu kerja bareng, agar Internet tak malah lukai anak/adik/keponakan.
Dalam kasus yang kami coba bantu, dimensi pemicunya cukup komplek. Kata Bang Napi, selain ada niat pelaku, juga ada kesempatan!
Karena biar bagaimanapun, dimensi yang melingkupi anak itu adalah dari dalam rumah (orang tua), dari sebaya (peer group) dan sekolah (guru).
Tapi sblm mengurai faktor penyebab dari masing-masing dimensi tersebut, first think first, berupaya supaya 'dokter' abal-abal predator tersebut tertangkap.
Dengan memahami cara kerja kejahatan di internet maka diharapkan para orang tua bisa lebih hati-hati dalam memberikan pengawasan kepada anak ataupun memberikan fasilitas keperluan internet di dalam keluarga. Berpikir ulanglah menfasilitasi anak dengan gadget canggih sebelum anak mampu mengontrol dirinya sendiri ataupun bersikap terbuka kepada orang tua. Kelengahan orang tua bisa saja berakibat fatal untuk masa depan anak. Jadi berhati-hatilah.
Perlu diketahui bahwa bahaya pedofilia di internet sudah sangat mengancam anak-anak muda bangsa Indonesia. Fasilitas sosial media yang menjamur luas menjadikan interaksi dengan orang asing akan lebih mudah terjadi. Kondisi seperti inilah yang harus diwaspadai agar anak-anak kita tidak terancam kejahatan di internet khususnya kejahatan pedofilia.
Saking berbahayanya kejahatan pedofilia melalui internet, maka sedikit kita ulas cara kerja pedofilia melalui media internet yang wajib diketahui oleh para orang tua yang dikutip dari https://twitter.com/VampireMuslimah
Etimologi (asal kata) pedofilia, adalah dari pedo/pais (yunani) yg berarti anak + phile (latin/greek) yg berarti cinta yang kuat.
Dalam konsep perilaku menyimpang, pedofilia dimaknai sebagai kepribadian yang eksplor rasa suka kepada anak hingga ke eksploitasi sek*sual
Di Indonesia, menurut UU (perlindungan anak, ham, dll) yang masih dianggap sebagai "anak-anak" adalah yg belum berusia 18 tahun.
Tipe pedofil online, menurut FBI, umumnya ada 2: yang target ketemu tatap muka dengan korban, dan yang koleksi/barter gambar po*rno-anak.
Modus pedofil online, mencari mangsa di tempat-tempat anak-anak kumpul di Internet. Media social, semacam facebook, target favorit.
Pedofil online akan pilah-pilih targetnya dengan memantau jejak update status. Misalnya yang rendah diri, problem dengan orangtua/teman, dll.
Setelah dapat target, pelaku pedofil posisikan dirinya sebagai orang yang bisa diajak curhat. Profesi, usia, gender si pelaku dipalsukan.
Proses pendekatan yang dilakukan pelaku pedofil online ke target korban, dalam membangun "kepercayaan online", disebut sebagai "grooming".
Proses grooming berjalan perlahan, bisa dalam durasi harian atau mingguan. Hubungan emosional terbentuk, karena konsep hyper-reality.
Hyper reality, intinya adalah kepercayaan pada realitas (semu) yang terbentuk karena sejumlah representasi makna/simbol via Internet.
Contohnya, pelaku pedofil online bisa saja samarkan diri sebagai dokter, guru, atau siapapun yang bisa dipercaya untuk curhat korbannya.
Pada tahap tertentu, proses grooming tadi akan hasilkan emotional connection antara si anak (korban) dengan pelaku pedofil online.
Berdasarkan data dari veteran detektif cyber FBI, 70% anak-anak akan 'accept friend request' tanpa pikir panjang atau cek-ricek dulu.
Setelah hubungan emosional antara si anak (korban) dengan pelaku pedofil terjalin, si pelaku menjadi semacam manipulator ulung.
Si pelaku pedofil online akan mudah minta korbannya untuk kirimkan foto-foto diri (selfie) dengan pose vulgar, atau bahkan ajak ketemuan.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Media Tempo belum lama berselang lakukan investigasi selama 7 jam, surfing ke internet menyamar sebagai 'Lisa', abg usia 14thn.
Hasil penyamaran Tempo selama 7 jam tersebut, berhasil menarik tak kurang dari 75 predator (pelaku pedofil online) yang siap memangsa.
Yg ditawarkan predator online kepada 'Lisa' tersebut semisal se*xchat, video conf po*rno, hingga ajak ketemu meski tahu usianya baru 14thn.
Saat ini kami yg concern dengan pedofil online, sedang hadapi 1 kasus yang nyata-nyata di depan mata. Saya akan share, tapi data-data disamarkan.
Alkisah ada seorang anak perempuan yang piawai gunakan layanan socmed, meski usianya masih dibawah dari yang disyaratkan layanan tersebut.
Si anak ini kemudian berkenalan di internet dengan seorang yang mengaku sebagai dokter perempuan muda, dari sebuah RS terkenal di kota X.
Profil 'si dokter' di situs socmed tersebut cukup meyakinkan. Ada foto diri dengan jas dokter, stetoskop, info riwayat pendidikan, dll.
Jangankan anak-anak, kami yang pertama kali melihat profil 'dokter' tersebut, juga susah membedakan apakah itu profil asli atau abal-abal.
Singkat kata, si dokter abal-abal tadi mulai melakukan proses 'grooming' kepada target korbannya, membangun hubungan emosional dengan sabar.
Dengan memantau profil si target yang tertulis di web socmed tersebut, 'dokter' predator ini kemudian memulainya dengan sok kenal si anu-itu.
Diskusi pun berlanjut, kepercayaan pun terbangun. Sampai kemudian diskusinya mulai tentang kesehatan alat reproduksi perempuan.
Dan berkonsultasilah si anak dengan 'dokter' tersebut. Si anak pun mengirim gambar dirinya, untuk membantu visual dalam rangka 'konsultasi'.
Melalui info jejaring teman di situs yang dipakai anak tersebut, pelaku pedofil online yang mengaku dokter tersebut berhasil jerat korban lain.
Dengan cara yang sama, 'dokter' tersebut berhasil jerat sejumlah anak-anak, baik berasal dari sekolah yang sama ataupun beda, untuk kirim foto vulgar.
Dan foto-foto dari korban tersebut, kemudian diposting sana-sini, salah satunya berulang kali ke sebuah situs komunitas di Indonesia.
Postingan tersebut, selalu dengan informasi tambahan yang tak benar. Misalnya, 'dijual vir*ginitas', 'korban pelecehan sek*sual guru', dll.
Akan sangat mengerikan dampaknya, jika si 'dokter' predator ini niat dan berhasil mengajak anak2 tersebut untuk ketemuan langsung. Dan...!
Pedofilia online, seperti pucuk gunung es. Karena tekanan keluarga, sekolah, sosial, bisa jadi banyak kasus yang tak dilapor/terdeteksi.
Untuk kasus yang sedang berjalan sekarang, dari sejumlah korbannya, hanya 1 pihak saja yang berani dan tegar untuk lapor ke pihak berwenang.
FBI, sudah jauh hari mengingatkan. Bahwa kini solusi meletakkan komputer di ruang tengah/keluarga, tak lagi cukup.
Apalagi gadget yang dipakai anak, kian ringkas dan personal. Perlu kerja bareng, agar Internet tak malah lukai anak/adik/keponakan.
Dalam kasus yang kami coba bantu, dimensi pemicunya cukup komplek. Kata Bang Napi, selain ada niat pelaku, juga ada kesempatan!
Karena biar bagaimanapun, dimensi yang melingkupi anak itu adalah dari dalam rumah (orang tua), dari sebaya (peer group) dan sekolah (guru).
Tapi sblm mengurai faktor penyebab dari masing-masing dimensi tersebut, first think first, berupaya supaya 'dokter' abal-abal predator tersebut tertangkap.
Dengan memahami cara kerja kejahatan di internet maka diharapkan para orang tua bisa lebih hati-hati dalam memberikan pengawasan kepada anak ataupun memberikan fasilitas keperluan internet di dalam keluarga. Berpikir ulanglah menfasilitasi anak dengan gadget canggih sebelum anak mampu mengontrol dirinya sendiri ataupun bersikap terbuka kepada orang tua. Kelengahan orang tua bisa saja berakibat fatal untuk masa depan anak. Jadi berhati-hatilah.
0 Response to "Memahami Kejahatan Pedofilia Melalui Internet"
Post a Comment